Rabu, 11 November 2015

Konsep Fikih dalam Islam

. Konsep Fikih dalam Islam

Kata fikih terambil dari bahasa Arab, yakni kata fiqhun, yang secara bahasa terambil dari kata faqiya yafqahu fiqhan yang berarti فَهْمٌ عَمِيْقٌ (pemahaman yang mendalam). Karena fikih merupakan pemahaman yang mendalam, maka ia mensyaratkan pengerahan potensi akal secara maksimal dengan metodologi keilmuan yang ketat. Ilmu fikih dikenal sebagai salah satu bidang keilmuan dalam syari’at Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum atau aturan yang terkait dengan berbagai aspek kehidupan manusia, baik menyangkut individu, masyarakat, maupun hubungan manusia dengan Penciptanya.

Definisi fikih secara istilah mengalami perkembangan dari masa ke masa, sehingga tidak pernah bisa kita temukan satu definisi yang tunggal. Pada setiap masa itu para ahli merumuskan pengertiannya sendiri. Contohnya, Abu Hanifah mengemukakan bahwa fikih adalah pengetahuan manusia tentang hak dan kewajibannya. Dengan demikian, fikih bisa dikatakan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia dalam berislam, yang bisa masuk pada wilayah akidah, hukum, ibadah dan akhlak. Pada perkembangan selanjutnya, ada definisi yang paling populer, yakni definisi yang dikemukakan oleh al-Amidi yang mengatakan bahwa fikih sebagai ilmu tetang hukum syara’ yang bersifat praktis yang diperoleh melalui dalil yang terperinci. Di samping definisi yang tersebut di atas, ada beberapa definisi fikih yang dikemukakan oleh ulama ushul fikih yakni:

1. Ilmu yang mempunyai tema pokok dengan kaidah dan prinsip tertentu. Definisi ini muncul dikarenakan kajian fikih yang dilakukan oleh fukaha menggunakan metode-metode tertentu, seperti kias, istihsan, istishab, istislah dan sadduz zari’ah.

2. Ilmu tentang hukum syar’iyyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia, baik dalam bentuk perintah (wajib), larangan (haram), pilihan (mubah), anjuran untuk melakukan (sunnah), maupun anjuran agar menghindarinya (makruh) yang didasarkan pada sumber-sumber syari’ah, bukan akal atau perasaan.

3. Ilmu tentang hukum syar’iyyah yang berkaitan dengan ibadah dan mu’amalah. Dari sini bisa dimengerti kalau fikih merupakan hukum syari’at yang lebih bersifat praktis yang diperoleh dari istidlal atau istinbath (penyimpulan) dari sumber-sumber syari’at (al-Qur’an dan al-Hadis).

4. Fikih diperoleh melalui dalil yang terperinci (tafshili), yakni al-Qur’an dan al-Sunnah, kias dan ijma’ melalui proses istidlal, istinbath atau nadhar (analisis). Oleh karena itu tidak disebut fikih manakala proses analisis untuk menentukan suatu hukum tidak melalui istidlal atau istinbath terhadap salah satu sumber hukum tersebut.

Ulama fikih sendiri mendefinisikan fikih sebagai sekumpulan hukum amaliyah (yang akan dikerjakan) yang disyari’atkan dalam Islam. Dalam hal ini kalangan fuqaha membaginya menjadi dua pengertian, yakni: pertama, memelihara hukum furuk (hukum keagamaan yang tidak pokok) secara mutlak (seluruhnya) atau sebagiannya. Kedua, materi hukum itu sendiri, baik yang bersifat qath’i maupun yang bersifat dhanni.

Sementara itu, Musthafa Ahmad az-Zarqa, seorang pakar fikih dari Yordania, membagi fikih menjadi dua, yaitu ilmu tentang hukum, termasuk ushul fikih dan kumpulan hukum furuk.

B. Ruang Lingkup Fikih Ruang lingkup yang terdapat pada ilmu Fikih adalah semua hukum yang berbentuk amaliyah untuk diamalkan oleh setiap mukallaf (Mukallaf artinya orang yang sudah dibebani atau diberi tanggungjawab melaksanakan ajaran syariat Islam dengan tanda-tanda seperti baligh, berakal, sedar, sudah masuk Islam).

Hukum yang diatur dalam fiqh Islam itu terdiri dari hukum wajib, sunah, mubah, makruh dan haram; di samping itu ada pula dalam bentuk yang lain seperti sah, batal, benar, salah dan sebagainya. Obyek pembicaraan Ilmu Fikih adalah hukum yang bertalian dengan perbuatan orang-orang mukallaf yakni orang yang telah akil baligh dan mempunyai hak dan kewajiban. Adapun ruang lingkupnya fikih meliputi:

a. Pertama, hukum yang bertalian dengan hubungan manusia dengan khaliqnya (Allah SWT). Hukum-hukum itu bertalian dengan hukum-hukum ibadah.

b. Kedua, hukum-hukum yang bertalian dengan muammalat, yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya baik pribadi maupun kelompok. Kalau dirinci adalah:

1) Hukum-hukum keluarga yang disebut Al Ahwal Asy Syahshiyyah. Hukum ini mengatur manusia dalam keluarga baik awal pembentukannya sampai pada akhirnya.

2) Hukum-hukum perdata, yaitu hukum yang bertalian manusia dengan hubungan hak kebendaan yang disebut mu’amalah maddiyah.

3) Hukum-hukum lain termasuk hukum-hukum yang bertalian dengan perekonomian dan keuangan yang disebut al ahkam al iqtishadiyah wal maliyyah. Inilah hukum-hukum Islam yang dibicarakan dalam kitab-kitab Fikih dan terus berkembang.

B. Persinggungan Fikih dengan Syari’at Secara etimologi, kata syari’at berarti sumber air yang digunakan untuk minum. Namun dalam perkembangannya kata ini lebih sering untuk menyebut jalan yang lurus (الطريقة المستقيمة), yakni agama yang benar. Pengalihan ini bisa dimengerti karena sumber mata air merupakan kebutuhan pokok manusia untuk memelihara kehidupannya, sedangkan agama yang benar juga merupakan kebutuhan pokok manusia yang akan membawa pada keselamatan dan kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, selanjutnya arti syari’at menjadi agama yang lurus yang diturunkan oleh Allah SWT (satu-satunya Tuhan semesta alam) untuk umat manusia.

Selanjutnya para pakar fikih menjelaskan fikih secara terminologis berikut:

1. Asy-Syatibi menjelaskan bahwa syari’at sama dengan agama

2. Manna al-Qaththan (pakar fikih dari Mesir) mengatakan bahwa syari’at merupakan segala ketentuan Allah SWT bagi hamba-Nya yang meliputi akidah, ibadah, akhlak dan tata kehidupan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

3. Fathi ad-Duraini menyatakan bahwa syari’at adalah segala yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, baik yang ada dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah al-Shahihah, di mana keduanya dia sebut dengan teks-teks suci (النصوص المقدسة).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa syari’at adalah teks-teks suci yang bebas dari kesalahan, baik isi maupun keautentikannya, yang darinya bersumber pemahaman ulama yang mendalam yang menghasilkan kesimpulan hukum-hukum amaliah (fikih). Upaya untuk memahami teks-teks suci yang dilakukan oleh para ulama untuk menghasilkan hukum sesuatu inilah yang dikenal sebagai ijtihad (dimana aturan ijtihad atau dalam istidlal untuk memperoleh hukum suatu persoalan tersebut, mereka menggunakan ushul fikih). Dengan kata lain, fikih merupakan hasil ijtihad para ulama yang tentu kualitas kebenarannya tidak bisa disamakan dengan kesucian dua hal yang menjadi sumbernya, yakni al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh karena itu tidak salah, kalau dalam penjelasannya Fathi ad-Duraini mengatakan bahwa syari’at selamanya bersifat benar, sedangkan fikih karena merupakan hasil pemikiran manusia memungkinkan untuk benar ataupun salah.

Meskipun fikih merupakan hasil ijtihad atau pikiran ulama, kita juga tidak boleh meremehkan begitu saja karena para ulama dalam berijtihad melakukannya dengan disiplin metodologi keilmuan yang sangat ketat. Seperti halnya dalam dunia kedokteran, hasil ijtihad para ulama, walau tidak dapat dikatakan sama persis, bisa diserupakan dengan resep obat sebuah penyakit yang direkomendasi-kan oleh dokter berdasarkan keilmuan yang dikuasainya. Oleh karena itu, seorang pasien yang awam dalam ilmu kedokteran hendaknya mengikuti saja resep yang disarankan oleh dokter. Namun demikian, bukan berarti dokter adalah sosok yang tak mungkin salah. Ia tetap sosok manusia biasa yang mungkin juga melakukan kesalahan. Nah, bagi pasien yang gejala penyakitnya tidak mengalami perubahan untuk sembuh, bisa mencari pengobatan baru ke dokter lain yang lebih ahli (dari dokter umum ke spesialis, misalnya) sehingga tertangani dengan tepat, bukan mengobati dirinya sendiri tanpa pengetahuan yang memadahi. Sementara itu bagi dokter lain yang memiliki kemampuan dan kewenangan untuk mengecek apakah yang dilakukan oleh seorang dokter merupakan kesalahan malapraktik atau tidak, bisa melakukan penelitian untuk membuat kesimpulan dan menyatakan kebenaran atau kesalahan suatu tindakan seorang dokter.

Sedikit berbeda dari kasus kedokteran, dalam fikih, karena dasar berpijaknya adalah al-Qur’an dan al-Sunnah (sebagai korpus terbuka, di mana seluruh umat bisa mengaksesnya), setiap fatwa fikih yang dikeluarkan oleh ulama bisa dipertanyakan atau ditelusuri dasar berpijaknya dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Ketika sebuah fatwa fikih yang dikeluarkan itu ditemukan dasar berpijaknya dalam kedua sumber tersebut, tentunya dengan metodologi keilmuan fikih yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan, maka umat pun akan tenang melakukan fatwa tersebut sebagai sesuatu yang benar secara syar’i. Mengetahui dasar berpijak sebuah fatwa inilah yang justru disarankan dalam Islam, yang lebih dikenal sebagai ittiba’ (nanti akan dibahas tersendiri), bukan mengikutinya secara membabi buta (taqlid).

Contoh Sederhana Perbedaan Syari’at, Fikih dan Bukan Fikih Untuk memperoleh gambaran yang bisa mempermudah kalian membedakan syari’at, fikih dan bukan fikih, di bawah ini ada beberapa ayat al-Qur’an dan sunnah Nabi terkait dengan wudhu yaitu:

                 .... 

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…. (al-Maidah: 6)

عَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ (رواه البخاري)

Umar bin Al Khaththab diatas mimbar berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan" (HR. Bukhari, Hadis No. 1)

Dari ayat dan hadis di atas, para ulama fikih merumuskan rukun wudhu ada enam, yakni: niat, membasuh muka, membasuh tangan, mengusap kepala dan membasuh kaki, serta dilakukan dengan tertib. Niat diperoleh dari hadis ketika memulai sebuah perbuatan (dalam hal ini wudhu), sedangkan setelah itu dari membasuh muka sampai dengan kaki diperoleh dari al-Qur’an. Sementara itu tertib diperoleh dari kaidah ushul fikih bahwa huruf wawu pada surat al-Maidah di atas menunjukkan urutan, disamping konfirmasi kebenarannya juga ditemukan dalam praktek wudhu yang dilakukan Rasulullah. Ketika terjadi perbedaan antarulama fikih, apakah niat itu dilafadzkan ataukah cukup dalam hati, maka perbedaan pemahaman ini masih bisa ditolerir, artinya tidak sampai menghilangkan keabsahan wudhu yang dilakukan seseorang, dan masih bisa dikategorikan memiliki dasar berpijak dari al-Qur’an maupun sunnah Nabi (sebagai syari’ah). Perbedaan inilah yang disebut perbedaan fiqhiyah. Sedangkan contoh pendapat yang keluar dan tidak bisa disebut sebagai fikih (pemahaman yang mendalam atas al-Qur’an dan sunnah Nabi), adalah ketika orang berwudhu tanpa niat, kemudian hanya membasuh kaki saja. Perbuatan seperti ini tidak disebut fikih, dan tidak sah disebut sebagai wudhu. Demikian gambaran sekilas persinggungan fikih dengan syari’ah; dan fikih dengan yang bukan fikih.

Melihat Fikih Secara Historis

Secara historis, perkembangan hukum dibagi kedalam empat periode, yaitu: periode Nabi, periode Sahabat, periode ijtihad serta kemajuan, dan periode taklid serta kemunduran.

1. Periode Nabi

Pada masa ini Nabi Muhammad saw menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat berdasarkan wahyu yang turun secara berangsur-angsur. Sedangkan terhadap masalah yang cara penyelesaiannya belum disebut oleh wahyu yang sudah turun, Nabi melakukan ijtihad (putusan yang didasarkan pada pemikiran yang mendalam). Ketika ijtihad Naabi saw tentang hukum ini benar, biasanya tidak diikuti oleh turunnya ayat al-Qur’an untuk memperbaikinya. Dan sebaliknya, ketika putusan Nabi saw tersebut “tidak benar”, Allah menurunkan ayat al-Qur’an untuk menjelaskan hukum yang sebenarnya. Inilah yang dimaksud Nabi Muhammad saw disebut terjaga dari kesalahan (maksum). Pada periode ini seluruh persoalan dikembalikan kepada Nabi Muhammad saw, untuk diputuskan, sehingga Nabi lah yang menjadi satu-satunya sumber fikih (hukum). Pada posisi seperti ini, Prof Harun Nasution menyebut bahwa secara direk pembuat hukum adalah Nabi, tetapi secara indirek Allah-lah pembuat hukumnya, karena hukum yang dikeluarkan Nabi tersebut bersumber pada wahyu Allah. Peran Nabi dalam masalah hukum ini seakan hanya bertugas untuk menyampaikan dan melaksanakan hukum yang ditentukan oleh Allah. Selanjutnya apa yang diterimanya dari Allah ini terhimpun dalam al-Qur’an dan sunnah yang bisa dijadikan sumber hukum untuk generasi sesudahnya.

2. Periode Sahabat

Meluasnya wilayah Islam pada periode ini, mau tidak mau umat Islam bersentuhan dengan wilayah di luar semenanjung Arabia yang telah mempunyai peradaban tinggi dan susunan masyarakat yang tidak sederhana lagi. Kompleksitas yang semakin tinggi ini juga memaksa munculnya persoalan baru yang menuntut ditentukan hukum fikihnya. Menghadapi kompleksitas masalah baru ini biasanya para sahabat merujuk pada al-Qur’an dan sunnah Nabi. Dalam hal kembali pada al-Qur’an, bagi para sahabat tidak terlalu menjadi masalah karena al-Qur’an sudah mereka hafal dan sudah dibukukan pada masa Abu Bakar, dan semakin tersempurnakan pada masa Utsman bin Affan. Berbeda halnya dengan al-Qur’an, masalah sunnah Nabi, yang belum dihafal dan dibukukan menjadi masalah baru, dimana mereka yang tidak bertanggung jawab membuat-buat perkataan yang dinisbahkan kepada Nabi, yang dikemudian dikenal sebagai hadis palsu.

Kompleksitas masalah muncul dan terbatasnya ayat-ayat al-Qur’an tentang hukum yang tidak mengover seluruh masalah yang muncul untuk ditentukan hukumnya, ditambah dengan hadis palsu, memaksa Khalifah dan para Sahabat untuk melakukan ijtihad. Karena turunnya wahyu sudah terhenti pada masa ini, maka tidak ada lagi sumber yang bisa digunakan untuk mengkonfirmasi benar tidaknya sebuah ijtihad. Untuk mengatasi masalah ini para sahabat tidak memutuskan masalah secara sendiri-sendiri, melainkan memutuskannya secara bersama-sama secara bulat, yang lebih dikenal sebagai ijma’ sahabat. Namun ijmak ini hanya mudah dilakukan pada masa Abu Bakar, tidak pada masa Umar dan seterusnya karena para Sahabat sudah tersebar ke daerah-daerah yang jatuh dibawah kekuasaan Islam, seperti Mesir, Suria, Irak dan Persia. Oleh karena itu pada masa ini memunculkan apa yang diputuskan hukumnya dengan ijtihad pada persoalan-persoalan yang tidak dijumpai secara langsung dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan ijma’ Sahabat dan Sunnah Sahabat. Singkatnya, bagi generasi berikutnya sumber hukum ditambah sunnah Sahabat, mendampingi al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

Kompleksitas lain yang juga memicu munculnya problematika hukum baru adalah masuknya orang-orang non-Arab ke dalam Islam, tata pemerintahan yang berkembang [muncul peradilan, ekonomi pasar, dll], serta masuknya pengaruh budaya Romawi dan Persia ke dalam kehidupan umat Islam.

3. Periode Ijtihad dan Kemajuan (700 – 1000 M).

Pada periode ini ditandai dengan pengumpulan hadis, ijtihad atau fatwa Tabi’in (generasi pasca sahabat). Sebagaimana pada masa Sahabat, pada era Tabiin ini wilayah kekuasaan Islam mengalami perluasan yang sangat pesat. Hal ini juga diikuti munculnya banyak problem yang memerlukan penetapan hukum agamanya (baca: fikih). Menyikapi hal ini, para ahli hukum pada waktu itu banyak melakukan ijtihad berdasarkan al-Qur’an, sunnah Nabi dan sunnah Sahabat. Dari banyak ulama yang melakukan ijtihad ini, mereka yang memiliki otoritas keilmuan di bidang fikih ada yang mendapat pengakuan secara luas, yang selanjutnya mereka menjadi rujukan dalam menyelesaikan problematika hukum. Di antara para mujtahid yang menjadi panutan ini kemudian dikenal dengan sebutan imam atau faqih dalam Islam.

Para imam di masa Tabiin ini, sesuai dengan luasnya wilayah Islam di masa itu, tersebar di berbagai wilayah Islam. Di Madinah misalnya, diantaranya Sa’id Ibn Masayyab,’Urwah bin Zubair dan al-Qasim ibn Muhammad. Dari Tabi’in ini kemudian lahrilah murid-murid yang melanjutkan pemikiran mereka, seperti Muhammad Ibn Syahab al-Zuhri, Yahya Ibn Sa’id dan Malik bin Anas. Yang terakhir ini selanjutnya menjadi pendiri mazhab Maliki, sebagaimana yang sering kita dengar.

Sementara itu, para fuqaha Tabiin yang terkenal di Makkah adalah ‘Ikrimah dan Mujahid, yang melahirkan murid-murid terkenal mereka seperti Sufyan Ibn ‘Uyanah dan Muslim Ibn Khalid. Dari murid-murid Tabiin yang ada di Makkah inilah Imam Syafi’i belajar sewaktu berada di Makkah. Imam Syafi’i ini selanjutnya mendirikan mazhab Syafi’i yang berkembang luas di dunia Islam. Selain belajar pada ulama fikih di Makkah, Imam Syafi’i juga belajar dari ulama fikih yang silsilah keilmuannya berasal dari Tabiin yang tinggal di Mesir, seperti Yazid Ibn Habib. Dari Yazid inilah lahir al-Laiz Ibn Sa’ad, seorang ulama fikih yang terkenal, yang dari beliau ini Imam Syafi’i belajar banyak tentang Islam, termasuk fikih.

Ulama dari golongan Tabiin ada juga yang menempati wilayah Kufah, seperti ‘Alqamah bin Qais dan al-Qadhi Syuraih, di mana murid mereka yang paling masyhur adalah Ibrahim al-Nakha’i. Dari Ibrahim al-Nakha’i ini melahirkan murid yang juga sangat terkenal di masanya, yakni Hammad Ibn Abi Sulaiman, yang darinya Imam Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi) belajar. Karena berada di tempat yang jauh dari sumber beredarnya sunnah Nabi (Madinah) yang ketika itu masih disebarkan dalam budaya tutur dan perkembangan kebudayaan masyarakat yang tinggi, maka Imam Abu Hanifah lebih banyak menggunakan “pendapat” (الرَّأيُ) dalam menyelesaikan permasalahan yang menuntut penyelesaian hukumnya. Beliau hanya menggunakan sunnah yang betul-betul diyakini kebenarannya. Oleh karena itu mazhab yang satu ini lebih dikenal sebagai mazhab ahlu ra’yi. Meskipun demikian, ia tidak terlalu fanatik terhadap pendapatnya dengan selalu mengatakan: “inilah pendapat saya…dan kalau ada orang lain yang membawa pendapat yang lebih kuat, maka pendapatnya itulah yang lebih benar.”

Sementara itu dari Baghdad yang berakar pada Tabiin yang melahirkan Imam Abu Hanifah, dan selanjutnya memunculkan Abu Yusuf yang menjadi ulama terkenal, dan sekaligus guru Ahmad Ibn Hanbal, pendiri mazhab Hambali. Guru lain dari Ahmad Ibn Hanbal ini adalah Imam Syafi’i. Sejarah sebenarnya mencatat lebih dari empat mazhab fikih di atas, dari golongan ahlus sunnah, seperti mazhab Sufyan al-Sauri, mazhab Syuraih al-Nakha’i, mazhab Abi Saur, mazhab al-Auza’i, mazhab al-Thabari dan mazhab al-Zahiri. Singkatnya semua mazhab ahlus sunnah ini kurang populer kemudian menghilang, sehingga yang muncul atau dikenal hanya empat mazhab di atas. Sementara itu di kalangan Syi’ah muncul mazhab Zaidiyah, Syi’ah Itsna ‘Asyariyah dan mazhab Syi’ah Ismailiyah. Gambaran singkat pada periode ini adalah betapa dinamisnya perkembangan ilmu fikih. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya mazhab yang muncul tersebut. Bahkan pada periode ini terjadi pembukuan hadis dan fatwa-fatwa imam besar.

4. Periode Taqlid (Sekitar Abad ke-empat Hijriyah/ke-duabelas Masehi)

Bersamaan dengan kemunduran kebudayaan umat Islam, pada periode in bisa dikatakan perkembangan hukum fikih mengalami kemandekan. Empat mazhab yang ada mengalami kestabilan di tengah masyarakat, sehingga perhatian orang bukan lagi ke al-Qur’an dan sunnah Nabi, tetapi lebih memperhatikan buku-buku fikih yang berisi fatwa fikih imam-imam besar tersebut. Hal ini diperparah oleh ulama-ulama mazhab yang mempertahankan mazhab imam mereka masing masing dan menganggap hanya mazhab imamnyalah yang benar dan yang lainnya tidak benar. Mereka sudah merasa cukup menjadi mujtahid fil mazahib, enggan beranjak meningkatkan kualitas diri menjadi mujtahid mutsaqil seperti empat imam mazhab sebelumnya.

Pada periode ini juga ditandai munculnya ulama-ulama yang belum mencapai kualifikasi mujtahid, namun mengeluarkan fatwa hukum. Dari fatwa mereka inilah berawalnya kekacauan dalam bidang hukum dan sekaligus keresahan dalam masyarakat. Salah satu contoh kasusnya adalah adanya sebuah kasus yang sama di kota yang sama memperoleh keputusan hukum yang bertentangan. Dalam suasana seperti ini, sebagian ulama melihat perlunya untuk menutup pintu ijtihad, dan pengadilan perkara tidak boleh lagi didasarkan kecuali pada pendapat ulama-ulama besar sebelumnya. Muncul pula larangan untuk kembali langsung merujuk pada al-Qur’an dan sunnah Nabi untuk menentukan hukum suatu perkara. Dari sinilah faham dan sikap taklid, yakni mengikuti saja pendapat ulama sebelumnya tanpa perlu mengetahui dasar berpijaknya, mendapat lahan subur untuk berkembang, yang dampaknya masih kita rasakan sampai saat ini.

Ibadah dan Karakteristiknya

Pengertian Ibadah

Menurut bahasa paling tidak ada empat makna dalam pengertian ibadah, yakni: (1) ta’at (الطاعة); (2) tunduk الخضوع)); (3) hina (الذلّ); dan (4) pengabdian (التنسّك). Jadi ibadah itu merupakan bentuk ketaatan, ketundukan, dan pengabdian kepada Allah. Didalam al-Qur`an, kata ibadah berarti: patuh (at-tha`ah), tunduk (al-khudu`), mengkut, menurut, dan do`a. Dalam pengertian yang sangat luas, ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa perkataan maunpun perbuatan. Adapun menurut ulama Fikih, ibadah adalah semua bentuk pekerjaan yang bertujuan memperoleh ridho Allah dan mendambakan pahala dari-Nya di akhirat.

Dasar tentang ibadah dalam Islam

Dalam al-Qur’an banyak ayat tentang dasar-dasar tentang ibadah sebagaimana berikut di bawah ini :      

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. ( Q.S. Adz-Dzariyat : 56 )  ••         

Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa,(Q.S. Al-Baqarah : 21)

Macam-macam Ibadah Secara garis besar, ibadah dibagi menjadi 2 yakni : ibadah khassah (khusus) atau mahdah dab ibadah `ammah (umum) atau gairu mahdah.

a. Ibadah mahdah adalah ibadah yang khusus berbentuk praktik atau pebuatan yang menghubungkan antara hamba dan Allah melalui cara yang telah ditentukan dan diatur atau dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Oleh karena itu, pelaksanaan dan bentuk ibadah ini sangat ketat, yaitu harus sesuai dengan contoh dari Rasulullah seperti, shalat, zakat, puasa, dan haji.

b. Adapun ibadah gairu mahdah adalah ibadah umum berbentuk hubungan sesama manusia dan manusia dengan alam yang memiliki nilai ibadah. Ibadah ini tidak ditentukan cara dan syarat secara detail, diserahkan kepada manusia sendiri. Islam hanya memberi perintah atau anjuran, dan prisnip-prinsip umum saja. Misalnya : menyantuni fakir-miskin, mencari nafkah, bertetangga, bernegara, tolong-menolong, dan lain-lain.

Ibadah dari segi pelaksanaannya dapat dibagi dalam tiga bentuk, yakni sebagai berikut:

a. Ibadah jasmaniah rohaniah, yaitu perpaduan ibadah antara jasmani dan rohani misalnya shalat dan puasa.

b. Ibadah Rohaniah dan maliah, yaitu perpaduan ibadah rohaniah dan harta seperti zakat.

c. Ibadah Jasmani, Rohaniah, dan Maliah yakni ibadah yang menyatukan ketiganya contohnya seperti ibadah Haji.

Ditinjau dari segi kepentingannya, ibadah dibagi menjadi tiga, yaitu kepentingan fardi (perorangan) seperti shalat dan kepentingan ijtima`i (masyarakat) seperti zakat dan haji. Ditinjau dari segi bentuknya, ibadah ada lima macam yaitu sebagai berikut:

a. Ibadah dalam bentuk pekataan atau lisan, seperti zikir, doa, tahmid, dan membaca Al Qur`an.

b. Ibdaha dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti membantu atau menolong orang lain, jihad, dan mengurus jenazah.

c. Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan bentuknya, seperti shalat, puasa, zakat dan haji.

d. Ibadah yang tata cara pelaksanaannya berbentuk menahan diri, seperti puasa, i`tikaf, dan ihram.

e. Ibadah yang berbentuk menggugurkan hak, seperti memaafkan orang yang telah melakukan kesalahan terhadap dirinya dan membebaskan sesorang yang berutang kepadanya.

Prinsip prinsip-prinsip ibadah dalam Islam

Ibadah yang disyari’atkan oleh Allah SWT dibangun di atas landasan yang kokoh, yaitu :

a. Niat lillahi ta’ala (Al-Fatihah/1:5) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (٥)

Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan.

b. Ibadah yang tulus kepada Allah SWT semata haruslah bersih dari noda-noda kesyirikan. Apabila sedikit saja dari kesyirikan bercampur dengan ibadah maka rusaklah ibadah itu .Ibadah dilakukan tanpa perantara,baik berupa manusia,binatang, benda,maupun tumbuh-tumbuhan.             

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dgn Rabb-nya maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh & janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kpd Rabb-nya” (QS Al Kahfi:110)

c. Keharusan untuk menjadikan Rasulullah SAW sebagai teladan & pembimbing dalam ibadah. لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً ﴿٢١﴾

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kalian…” (QS Al Ahzaab:110)

d. Ibadah itu memiliki batas kadar dan waktu yang tidak boleh dilampaui. Sebgaimana firman Allah SWT. : •      •

“Sesungguhnya shalat kewajiban yang telah ditentukan waktunya” (QS An-Nissa:103)

e. Keharusan menjadikan ibadah dibangun diatas kecintaan, ketundukan, ketakutan dan pengharapan kepada Allah SWT.             

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) & mengharapkan rahmat-Nya & takut akan azab-Nya” (QS Al Israa’ :57)

f. Seimbang antara dunia akherat, artinya proporsioanal tidak hanya semata-semata kehidupan akhirat saja yang dikejar tetapi kehidupan dunia juga tidak dilupakan sebagai sarana beribadah kepada Allah SWT (Al-Qashash/28:77)

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

g. Ibadah tidaklah gugur kewajibannya pada manusia sejak baligh dalam keadaan berakal sampai meninggal dunia.  •   

“…dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan memeluk agama Islam” (QS Aali ‘Imran:103)

Tujuan Ibadah

Tujuan ibadah adalah untuk membersihkan dan mensucikan jiwa dengan mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah SWT serta mengharapkan ridha dari Allah SWT. Sehingga ibadah disamping untuk kepentingan yang bersifat ukhrawi juga untuk kepentingan dan kebaikan bagi diri sendiri, keluarga serta masyarakat yang bersifat duniawi.

Rukun Ibadah

a. Al-Hubb (cinta)

Dengan kecintaan yang tinggi kepada Allah subhanahu wata’ala, seorang hamba akan sampai pada penghambaan diri kepada-Nya subhanahu wata’ala, sebab puncak dari al-Hubb adalah at-Tatayyum (penghambaan). Sehingga tidak akan terbangun penghambaan diri kepada Allah azza wajalla kecuali dengan terkumpulnya keduanya sekaligus, yaitu cinta.

b. Al-Khouf (takut)

Ia merupakan peribadatan hati dan rukun ibadah yang agung di mana keikhlasan seseorang dalam beragama bagi Allah SWT sebagaimana yang Dia perintahkan kepada hamba-Nya tidak akan lurus kecuali dengannya. Khauf ialah kegundahan hati akan terjadinya sesuatu yang tidak disuka berupa hukuman dan adzab dari Allah yang menimbulkan sikap penghambaan dan ketundukan seorang hamba kepada-Nya.

c. Ar-Raja’ (berharap).

Ia juga termasuk peribadahan hati dan rukun ibadah yang sangat agung. Ialah harapan yang kuat atas rohmat dan balasan berupa pahala dari Allah subhanahu wata’ala yang menyertai ketundukan dan penghinaan diri kepada-Nya subhanahu wata’ala.

Maka, ibadah yang telah Allah azza wajalla fardhukan kepada hamba-Nya harus terdapat tiga rukun tersebut padanya dengan sempurna. Peribadahan kepada Allah azza wajalla harus disertai ketundukan dan kecintaan yang sempurna serta rasa takut dan harapan yang tinggi. Bila ketiganya terdapat dalam sebuah amalan maka ia benar-benar bermakna ibadah. Ibadah dalam Islam menempati posisi yang paling utama dan menjadi titik sentral seluruh aktivitas manusia. Sehingga apa saja yang dilakukan oleh manusia bisa bernilai ibadah namun tergantung pada niatnya masing-masing, maka dapat dikatakan bahwa aktivitas manusia dapat bernilai ganda, yaitu bernilai material dan bernilai spiritual.

Keterkaitan ibadah dalam kehidupan sehari-hari

Ibadah dalam Islam menempati posisi yang paling utama dan menjadi titik sentral seluruh aktivitas manusia. Sehingga apa saja yang dilakukan oleh manusia bisa bernilai ibadah namun tergantung pada niatnya masing-masing, maka dapat dikatakan bahwa aktivitas manusia dapat bernilai ganda, yaitu bernilai material dan bernilai spiritual.

KEGIATAN DISKUSI

Setelah Anda mendalami materi maka selanjutnya lakukanlah diskusi dengan teman sebangku Anda atau dengan kelompok Anda, kemudian persiapkan diri untuk mempresentasikan hasil diskusi tersebut di depan kelas. Materi diskusi adalah seputar bagaimana upaya strategis agar pelaksanaan ibadah sholat dhuha dan sholat duhur berjamaah di Madrasah semakin meningkat.

PENDALAMAN KARAKTER

Dengan memahami ajaran Islam mengenai Syariah, Fikih dan ibadah maka seharusnya kita memiliki sikap sebagai berikut :

1. Membiasakan diri untuk ikhlas dan taat beribadah dalam kehidupa sehari-hari

2. Berbuat baik kepada orang tua dengan diniati ibadah

3. Menghargai perbedaan tata cara melakukan ibadah sehingga keharmonisan tetap selalu terjaga

4. Menghidari sikap, perbuatan maupun ucapan yang termasuk kategori tercela

5. Membiasakan tertib dan disiplin dalam melaksanakan ibadah sehinggga akan berdampak pada tindakan sehari-hari

1. Fikih merupakan bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat (mukallaf) dan diambil dari dalil yang terinci.

2. Ibadah adalah segala amal atau perbuatan yang dicintai dan diridhai Allah baik berupa perkataan, perbuatan atau tingkah laku

1 komentar:

  1. How to Make Money: How To Make Money Betting On Football
    This can หารายได้เสริม help you make money betting on football matches, 보령 출장샵 but it also 공주 출장샵 can help you increase the 광명 출장안마 risk. The process involves 김천 출장샵 placing a bet.

    BalasHapus